Senin, 22 Januari 2018

Resensi Memanjat Pesona







Resensi Novel Memanjat Pesona

Judul                           : Memanjat Pesona
Genre                          : Novel
Pengarang                   : Nun Urnoto El Banbary
Penerbit                       : CV. Pustaka Ilmu Group Yogyakarta
Tahun Terbit                : 2013
Ketebalan Buku          : 202 Halaman


Ini adalah novel pertama lainnya karya Nun Urnoto El Banbary, Memanjat Pesona, Jalan Terjal Meminang Cinta sesudah sebelumnya terbit novel yang berjudul Anak-anak Revolusi yang menyabet juara 1 di Penerbit AGP 27 Agustus 2013.

Sebuah novel yang mengisahkan tentang perjalanan cinta seorang santri pada sebuah pesantren yang memasuki perjalanan kehidupan yang baru setelah tiga hari ia keluar atau lulus dari pesantren.
Ia mulai mengenal dunia yang amat sangat jauh berbeda dengan dunia kitab kuning, kitab gundul.

Dunia yang ia kenal sekarang adalah dunia yang tidak hanya berwarna kuning saja, akan tetapi penuh warna warni, indah, penuh pelangi. Bahkan terkadang vulgar.

Setelah 13 tahun lamanya berkutat dengan lantunan ayat-ayat suci Alquran, sarung, kopyah, serta hanya mengenal syair-syair cinta dari syair Arab. Keelokan dari kata yang terdiri dari lima aksara tersebut hanya melayang, mengapung, dalam imajinasi semu.

Bagai dendam kesumat, 3 hari setelah keluar dari pesantren yang memenjarakannya selama 13 tahun, tiba-tiba saja Belia mengikrarkan hatinya untuk seorang gadis jelita dari tanah Pakuniran.
Seumur-umur, ia belum pernah jatuh dalam kubangan lumpur cinta yang maha dasyat. Ia hanya mendengar dari cerita novel, cerpen, atau mendengar dari syair-syair cinta dari Nadham Alfiya yang ia baca usai badannya terpenjara dalam penjara suci.

Ketika matahari merayap di atap-atap rumah. Ketika embun pagi mulai beranjak dari dedaunan, dan ketika peluh berleleran di antara orang-orang yang berlari pagi, dendam masa laluku menyelinap dan mulai bereaksi.

Di depan museum Bung Karno, saat barisan orang-orang yang berlari pagi hanya memedulikan keringatnya sendiri, mataku melekat tepat pada seraut wajah yang serasa pernah kujumpai, tapi entah dimana? Aku tak ingat lagi. ( hal: 3)

Ia seorang gadis bertubuh semampai, jalannya neter kolenang. Wajahnya bercahaya. Kerling matanya mampu mendamaikan kemelut hati yang durja.
Sebelum aku mengajaknya berkenalan, sudah kuhafalkan kuat-kuat namanya ketika disebut pada acara itu.

Hampir beberapa waktu aku memikirkan namannya, sebab bila tidak akan hilang begitu saja. Aku paling susah mengingat nama dan angka.
Namanya Luna Nyata. Aku lebih suka memanggilnya Luna. Panggilan yang mudah untuk kulafaldzkan asmanya. Jiwaku seperti di tumbuhi bunga, atau terasa mengapung ke angkasa raya. Nikmatnya tiada terkira. Luar biasa! Bagi yang belum pernah jatuh cinta, boleh tidak percaya.
Beberapa saat kemudian, keringat dingin segera mengucur dari keningku, bahkan mulai bermunculan di setiap pori-poriku yang tersembunyi di balik bajuku.

Metabolisme tubuhku seperti dipaksa berpacu oleh jantungku. Dag-dig-dug mengetuk-ngetuk dinding hati yang menebal.
Entah apa yang terjadi dengan jantung dan hatiku? Sepertinya tengah berevolusi ke satu titik. Menggeliat nggeliat mencari satu alamat. Merekontruksi sel-sel cintaku yang pernah non aktif selama tiga belas tahun lamanya.

Dari sinilah Balia, atau nama panjangnya Danial Jawala Balia mengenal sosok Luna Nyata, gadis dari pakuniran yang membuat ia terpesona.
Laksana anak panah yang lepas dari busurnya, mengenal Luna Nyata, sosok perempuan satu ini, sungguh tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata dan merupakan sesuatu yang amat sangat luar biasa bagi Balia.

Dan sangatlah manusiawi, karena selama di pesantren sosok perempuan adalah mahluk haram yang bagi warga pesantren putra. Jangankan menjalin cinta, melihatnya saja akan dihukum gundul dan disuruh berlari tujuh belas kali putaran mengelilingi pesantren yang luas.

Kali ini Balia tidak lagi berkhayal bahkan bermimpi untuk mendapatkan bidadari syurga Pakuniran, namun Balia benar-benar akan membangun istana cinta di dalam syurga Firdaus.
Gadis jelita didepannya telah memberi kabar, bahwa kehendak hatinya serupa dengan kehendak dirinya. Lalu senyum gadis yang mampu meruntuhkan singgasana khayalnya itu, merekomendasikan dirinya untuk meminangnya. Kehendak Tuhan pun mulai bersambut.

Balia pergi menelusuri lekuk zaman, memasuki rahasia tanah sang kekasih dan berusaha membangun segala impinya di tanah itu, namun sekelompok ifrit telah merasuk lakon cintanya, mencabik dan meruntuhkan indahnya syair-syair cinta yang membahana di kelopak kalbunya.
Kehendak cinta pada kekasihnya, berhadapan dengan kekuasaan ifrit yang selalu rela menghadirkan kasus lama, seperti Romeo dan Juliet yang tragis itu.

Dalam menejelajahi samudera cinta tentu tidak bisa menghindari batu karang terjal yang menghadang serta hempasan deburan ombak yang menerjang yang siap melahapnya dengan tiupan angin yang menerpa, mencabik-cabik serta menggugurkan bunga-bunga cinta Balia yang mulai bermekaran dalam jiwa Balia.

“Aku disuruh memutuskan hubungan kita, mas …!!!”

Bagai disambar petir, aku hampir jatuh terjungkal di halaman rumah kontrakan. Tanganku gemetar, suaraku seperti terekat.

Mimpi buruk yang kusimpan kemarin lusa, seperti menemukan jawabannya. Aku bermimpi menemukan terjun payung bersamanya, dari ketinggian yang tidak terkira, tapi peristiwa mengerikan menimpaku. Aku meluncur jatuh ke bawah karena gagal parasut. Sebelum menyentuh tanah aku terjaga dari tidur dengan nafas tersenggal-senggal.( hal : 181)

Novel ini tidak hanya menceritakan perjalanan cinta dua anak manusia yang penuh kelokan, tetapi di dalamnya juga terdapat sederetan hikmah juga hentangan ilmu yang dapat di unduh serta di bagikan di dalam menjelajahi kehidupan. Kehidupan di pesantren yang di alami Balia akan secara tidak langsung memberi pengaruh positif bagi pembacanya. Penulis seakan-akan sedang berbagi ilmu dengan pembaca.

Alur cerita yang sederhana, gaya bahasa penegasan menggunakan gaya bahasa Hiperbola, sehingga pembaca bisa larut menikmatinya tanpa terasa. Untuk perbandingannya novel ini menggunakan gaya bahasa Metafora, sehingga indah sekali kalimat-kalimatnya. Membuat pembaca larut merasakan apa yang penulis rasakan. Pembaca seakan tak mau berhenti dan ingin terus membacanya. Ini merupakan nilai lebih dari novel ini.


Desain sampulnya indah serta halaman cukup menarik, namun di luar dari kekurangan dan kelebihannya novel ini juga menyuguhkan bahasa Madura di dalamnya, dan sedikit membuat pembaca sulit memahami serta menambah perbendaharaan kosa kata bahasa daerah bagi yang membacanya.



Selamat Membaca :)

Peresensi: Nur Zaidah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi