Resensi Novel Memanjat Pesona
Judul : Memanjat Pesona
Genre :
Novel
Pengarang : Nun Urnoto El Banbary
Penerbit : CV. Pustaka Ilmu Group Yogyakarta
Tahun Terbit : 2013
Ketebalan Buku : 202
Halaman
Ini adalah novel pertama lainnya karya Nun Urnoto
El Banbary, Memanjat Pesona, Jalan Terjal Meminang Cinta sesudah sebelumnya
terbit novel yang berjudul Anak-anak Revolusi yang menyabet juara 1 di Penerbit
AGP 27 Agustus 2013.
Sebuah novel yang
mengisahkan tentang perjalanan cinta seorang santri pada sebuah pesantren yang
memasuki perjalanan kehidupan yang baru setelah tiga hari ia keluar atau lulus
dari pesantren.
Ia mulai mengenal dunia yang amat sangat jauh berbeda dengan dunia
kitab kuning, kitab gundul.
Dunia yang ia kenal sekarang adalah dunia yang
tidak hanya berwarna kuning saja, akan tetapi penuh warna warni, indah, penuh
pelangi. Bahkan terkadang vulgar.
Setelah 13 tahun lamanya
berkutat dengan lantunan ayat-ayat suci Alquran, sarung, kopyah, serta hanya
mengenal syair-syair cinta dari syair Arab. Keelokan dari kata yang
terdiri dari lima aksara tersebut hanya melayang, mengapung, dalam imajinasi
semu.
Bagai dendam kesumat, 3 hari setelah keluar dari pesantren yang
memenjarakannya selama 13 tahun, tiba-tiba saja Belia mengikrarkan hatinya untuk
seorang gadis jelita dari tanah Pakuniran.
Seumur-umur, ia belum pernah jatuh dalam kubangan lumpur cinta yang
maha dasyat. Ia hanya mendengar dari cerita novel, cerpen, atau mendengar dari
syair-syair cinta dari Nadham Alfiya yang ia baca usai badannya terpenjara
dalam penjara suci.
Ketika matahari merayap di atap-atap rumah. Ketika embun pagi mulai
beranjak dari dedaunan, dan ketika peluh berleleran di antara orang-orang yang
berlari pagi, dendam masa laluku menyelinap dan mulai bereaksi.
Di depan museum Bung Karno, saat barisan orang-orang yang berlari
pagi hanya memedulikan keringatnya sendiri, mataku melekat tepat pada seraut
wajah yang serasa pernah kujumpai, tapi entah dimana? Aku tak ingat lagi. (
hal: 3)
Ia seorang gadis bertubuh semampai, jalannya neter kolenang. Wajahnya bercahaya. Kerling matanya mampu
mendamaikan kemelut hati yang durja.
Sebelum aku mengajaknya berkenalan, sudah kuhafalkan kuat-kuat
namanya ketika disebut pada acara itu.
Hampir beberapa waktu aku memikirkan namannya, sebab bila tidak akan
hilang begitu saja. Aku paling susah mengingat nama dan angka.
Namanya Luna Nyata. Aku lebih suka memanggilnya Luna. Panggilan yang
mudah untuk kulafaldzkan asmanya. Jiwaku seperti di tumbuhi bunga, atau terasa
mengapung ke angkasa raya. Nikmatnya tiada terkira. Luar biasa! Bagi yang belum
pernah jatuh cinta, boleh tidak percaya.
Beberapa saat kemudian, keringat dingin segera mengucur dari
keningku, bahkan mulai bermunculan di setiap pori-poriku yang tersembunyi di
balik bajuku.
Metabolisme tubuhku seperti dipaksa berpacu oleh jantungku.
Dag-dig-dug mengetuk-ngetuk dinding hati yang menebal.
Entah apa yang terjadi dengan jantung dan hatiku? Sepertinya tengah
berevolusi ke satu titik. Menggeliat nggeliat mencari satu alamat.
Merekontruksi sel-sel cintaku yang pernah non aktif selama tiga belas tahun
lamanya.
Dari sinilah Balia, atau nama panjangnya Danial Jawala Balia
mengenal sosok Luna Nyata, gadis dari pakuniran yang membuat ia terpesona.
Laksana anak panah yang lepas dari busurnya, mengenal Luna Nyata,
sosok perempuan satu ini, sungguh tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata dan
merupakan sesuatu yang amat sangat luar biasa bagi Balia.
Dan sangatlah manusiawi, karena selama di pesantren sosok perempuan
adalah mahluk haram yang bagi warga pesantren putra. Jangankan menjalin cinta,
melihatnya saja akan dihukum gundul dan disuruh berlari tujuh belas kali
putaran mengelilingi pesantren yang luas.
Kali ini Balia tidak lagi berkhayal bahkan bermimpi untuk
mendapatkan bidadari syurga Pakuniran, namun Balia benar-benar akan membangun
istana cinta di dalam syurga Firdaus.
Gadis jelita didepannya telah memberi kabar, bahwa kehendak hatinya
serupa dengan kehendak dirinya. Lalu senyum gadis yang mampu meruntuhkan
singgasana khayalnya itu, merekomendasikan dirinya untuk meminangnya. Kehendak
Tuhan pun mulai bersambut.
Balia pergi menelusuri lekuk zaman, memasuki rahasia tanah sang
kekasih dan berusaha membangun segala impinya di tanah itu, namun sekelompok
ifrit telah merasuk lakon cintanya, mencabik dan meruntuhkan indahnya syair-syair
cinta yang membahana di kelopak kalbunya.
Kehendak cinta pada kekasihnya, berhadapan dengan kekuasaan ifrit
yang selalu rela menghadirkan kasus lama, seperti Romeo dan Juliet yang tragis
itu.
Dalam menejelajahi samudera cinta tentu tidak bisa menghindari batu
karang terjal yang menghadang serta hempasan deburan ombak yang menerjang yang
siap melahapnya dengan tiupan angin yang menerpa, mencabik-cabik serta
menggugurkan bunga-bunga cinta Balia yang mulai bermekaran dalam jiwa Balia.
“Aku disuruh memutuskan hubungan kita, mas …!!!”
Bagai disambar petir, aku hampir jatuh terjungkal di halaman rumah
kontrakan. Tanganku gemetar, suaraku seperti terekat.
Mimpi buruk yang kusimpan kemarin lusa, seperti menemukan
jawabannya. Aku bermimpi menemukan terjun payung bersamanya, dari ketinggian
yang tidak terkira, tapi peristiwa mengerikan menimpaku. Aku meluncur jatuh ke
bawah karena gagal parasut. Sebelum menyentuh tanah aku terjaga dari tidur
dengan nafas tersenggal-senggal.( hal : 181)
Novel ini tidak
hanya menceritakan perjalanan cinta dua anak manusia yang penuh kelokan, tetapi di
dalamnya juga terdapat sederetan hikmah juga hentangan ilmu yang dapat di unduh
serta di bagikan di dalam menjelajahi kehidupan. Kehidupan di pesantren yang di
alami Balia akan
secara tidak langsung memberi pengaruh positif bagi pembacanya. Penulis
seakan-akan sedang berbagi ilmu dengan pembaca.
Alur cerita yang sederhana, gaya bahasa penegasan menggunakan gaya bahasa
Hiperbola, sehingga pembaca bisa larut menikmatinya tanpa terasa. Untuk
perbandingannya novel ini menggunakan gaya bahasa Metafora, sehingga indah
sekali kalimat-kalimatnya. Membuat pembaca larut merasakan apa yang penulis
rasakan. Pembaca seakan tak mau berhenti dan ingin terus membacanya. Ini
merupakan nilai lebih dari novel ini.
Desain sampulnya indah serta halaman cukup menarik, namun di luar dari
kekurangan dan kelebihannya novel ini juga menyuguhkan bahasa Madura di
dalamnya, dan sedikit membuat pembaca sulit memahami serta menambah
perbendaharaan kosa kata bahasa daerah bagi yang membacanya.
Selamat Membaca :)
Peresensi: Nur Zaidah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar