BROMO, 11 Mei 2017 saya dan teman-teman anggota PERGUNU PAC. kecamatan Ngoro Jombang sampailah di kampung Tengger, tepatnya di lokasi parkir mobil yang tempatnya tidak beraturan dan sempit karena letaknya yang tidak strategis, ada yang di depan rumah warga ada juga yang di depan penginapan.
Usai kami istirahat sebentar serta membersihkan diri meski cuma mengambil air wudhu dan sholat shubuh bagi anggota yang belum menunaikan. Kami segera mempersiapkan segala sesuatunya, air minum, jaket, masker, kaca mata, topi ninja serta tas rangsel juga makanan ringan, sarapan pagi tak lupa sudah sebagian anggota menikmatinya. Segera kami terbagi menjadi 2 hingga 4 kelompok, karena setiap dari kami terkadang tertinggal berapa puluh kaki dari kelompok lainnya karena asik menikmati pemandangan di sekitar tempat parkir menuju Gunung Bromo.
Jalan beraspal yang menurun dan jaraknya kurang lebih 1 km, sehingga kami membutuhkan teknik pengereman kaki dan turun secara perlahan meski harus menguras tenaga sebegitunya.
Ketika kami bertemu kembali saat melangkah perlahan di jalan beraspal
yang menurun menuju lautan pasir Bromo
Sesampai kami pada perbatasan jalan beraspal dan jalan yang di penuhi pasir, kami dihadapkan pada lautan pasir Bromo yang luasnya, subhanallah 5250 hektare. Bisa tidak membayangkan luasnya seperti itu lalu kita berada sendiri di tengah-tengahnya. Ah kok nglantur, yang jelas di antara kami sat menuju lokasi gunung Bromo dan mengarungi lautan pasir itu ada yang naik kuda dan ada yang berjalan kaki loh, hebat kan?
Bu Mamik satu di antara dua dosen
yang naik kuda
Alhamdulillah saya dan teman saya sampai di sebuah bangunan yang cukup besar, apa ya? Samar-samar terlihat di depan mata karena kabut masih menggelayut di udara.
Aha, ternyata "Pure Luhur Poten" di dinding itu tertulis. Rupanya ini adalah tempat pemujaan suku Tengger yang beragama hindu.
Kami beristirahat sebentar, dengan menikmati semangkok bakso gratis, hehe Alhamdulillah dapat traktiran dari teman SMA yang baik hati dan kebetulan satu rombongan. Ternyata ada teman-teman lain yang sudah sampe di Pure, terlihat mereka menikmati bakso panas untuk mengusir hawa dingin yang menusuk sukma, hehe copi paste dari teman SMA.
Ternyata saya dan teman SMA tertinggal jauh di belakang, gegara jepret-jepret klik sana klik sini. Tak terasa dengan semangat yang terus kita bangun, sampailah kita di sisi timur Bromo, terlihat jalur menuju puncak yang begitu sempit, berliku serta penuh debu pasir. Juga lalu lalang kuda-kuda tunggang, tak ayal debu-debu terus berhamburan. Kita sepakat untuk jalan kaki menuju tangga Gunung Bromo yang kemiringannya hampir 45 derajat.
Alhamdulillah sampailah kita di kaki Gunung Bromo, tepatnya pada anak tangga pertama menuju kawah Bromo. Kita sudah sampai di badan gunung, jalan yang Anda lalui akan berubah menanjak dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Di Bromo sudah tersedia 250 anak tangga yang dapat dilalui para pengunjung untuk sampai ke puncak sang Brahma. Tangga di Gunung Bromo sendiri terbagi menjadi 2 jalur, yang satu untuk naik dan satunya untuk turun. Dengan sisa tenaga yang mungkin 75%, kita menaiki tangga satu demi satu sembari menata keluar masuknya nafas.
Kurang lebih 20 menit kita akhirnya sampai di kawah Brahma, tetapi belum sampai 15 menit teman saya mengajak turun. Ha? ada apa ya, akhirnya kita turun dengan begitu hati-hati karena sangat begitu banyak pengunjung di bibir Gunung Bromo sehingga kalau tidak hati-hati bisa-bisa terpeleset dan jatuh di kawah Brahma, naudzubillahimindzalik ....
Ketika kita turun dari puncak Bromo, saya sempat mengabadikan pemandangan di antara sekelilingnya. Orang-orang yang naik tangga, pegunungan semeru di sekitarnya, juga yang paling indah adalah kabutnya. Subhanallah seperti negeri di atas awan. Kabut putih menutupi sebagian badan gunung dan lautan pasir sehingga hanya terlihat puncaknya saja.
Dan subhanallah kita sempat berkenalan dengan wisatawan asing dari Europe, yang kebetulan juga menyukai dunia seni seperti saya, hhe. Tampak di lehernya tergantung kamera yang bermerk. Teman saya yang fasih dengan bahasa Inggris dengan sok akrabnya ala reporter tv one berbincang-bincang dengan wisatawan itu.
Ini dia hasil wawancara ekslusifnya cekedoott ....
Ketika Dr. Syamsul Arifin wawancara special dengan wisatawan dari Europe
Cukup keren kan, menjadi reporter dadakan dan cameramen andaikan saja setiap ada event travelling saya bisa menjadi seorang cameramen, ahay sungguh pengalaman yang sangat berharga dan tidak pernah terlupakan.
Okey segera kita simak bagaimana Dr. Syamsul begitu lugasnya menanyakan tentang bagaimana pendapat wisatawan asing itu tentang Bromo dan pemandangan di sekitarnya.
Tapi ada pertanyaan yang special juga dari wawancara ini, apa yang menjadi sebab wisatawan asing itu begitu akrab dengan reporter dan cameramen? Ayo coba dijawab ya sholihah sholihin ....
Eh tapi sengaja video ini tidak saya edit sama sekali karena begitu alaminya perbincangan antara saya, Dr. Syamsul dan beberapa wisatawan asing lainnya dan inilah yang membuat indah dan logat bahasanya begitu kental.
Dan ngomong-ngomong ini ada bocoran sedikit lo, kalau teman saya yang doktor itu ternyata di samping beliau seorang guru di sebuah SMA, beliau juga seorang dosen di STIT Al Urwatul Wustho, dan juga seorang pengurus PERGUNU PC. Kabupaten Jombang.
Dan cameramen dadakannya alias saya sendiri adalah salah satu anggota baru PERGUNU yang baru bergabung 1 bulanan.
dari kiri, Dr. Syamsul Arifin reporter, nomor dua Nur cameramen, nomer 3 bu Ida salah satu panitia
Lelah yang mendera, peluh yang terus keluar dan luruh di antara tubuh kami perlahan menyeruak di antara kaostum kami sehingga membuat gerah dan panas. Seiring matahari yang terus bergeser ke arah barat, teriknya yang semakin menyengat menjadikan kami segera ingin bernjak dari lautan pasir itu.
Usai perjalanan pendakian ke puncak Bromo yang begitu berat medannya, akhirnya kami sampai di tempat parkir mobil elf long dengan selamat. Meski tenaga yang tersisa tinggal 50-75%, kami masih ingin melanjutkan perjalanan ke tempat wisata berikutnya.
Oleh; Nur Zaidah